05/05/13

Koleksi Museum Bag.II


Sultan Mahmud Badaruddin II adalah pemimpin kesultanan Palembang-Darussalam selama dua periode (1803-1813, 1818-1821), setelah masa pemerintahan ayahnya, Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803).
Sultan berperan besar dalam mempertahankan wilaya Palembang dari jerat kekuasaan kolonial. Melalui perjuangan panjang dalam membebaskan tanah Palembang dari tangan Belanda, namun akhirnya pada tanggal 25 Juni 1821 Palembang jatuh ke tangan Belanda.
Pada Tanggal 13 Juli 1821, menjelang tengah malam, Sultan mahmud badarudin II beserta keluarganya menaiki kapal Dageraad dengan tujuan Batavia. Dari Batavia sultan mahmud badarudin II dan keluarganya diasingkan ke Ternate oleh belanda dan sampai akhir hayatnya 26 September 1852.
SK Presiden RI No 063/TK/1984 menganugerahi gelar Pahlawan Nasional kepada Sultan Mahmud Badaruddin II.
Namanya kini diabadikan sebagai nama bandara internasional di Palembang, Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II dan Mata uang rupiah pecahan 10.000 rupiah yang dikeluarkan oleh bank Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2005.


Pakaian yang dipergunakan di lingkungan Kesultanan Palembang Darussalam disesuaikan dengan tugas dan jabatan yang diberikan oleh Sultan Palembang Darussalam.
Dahulu orang akan merasa malu apabila memakai pakaian yang tidak sesuai dengan tugas dan jabatannya karena budaya malu masih kuat. Namun pada saat ini, budaya malu mulai luntur dan menghilang. Termasuk penggunaan Penggangon (alat, peralatan pakian pengantin, perkawinan) tidak sembarang orang diperbolehkan untuk memakainya. Sekarang sudah banyak yang asal pakai dan tidak mengetahui adat (tambeng).
Pakaian Kesultanan Palembang Darussalam bagian depan bermotif Rebung (Dasar Hitam) dengan tanda sebagai berikut :
-          Rebung Sembilan dipakai Sultan Palembang Darussalam
-          Rebung Delapan dipakai Pangeran Ratu
-          Rebung Tujuh dipakai Para Pangeran
-          Rebung Lima dipakai Para Temenggung
-          Rebung Tiga dipakai Para Rangga



Senjata-senjata tradisional ini pernah dipakai pada masa Kesultanan Palembang Darussalam untuk pertahanan diri dari serangan musuh.
Terdapat bermacam-macam jenis senjata yang di gunakan sebagai pertahanan diri maupun menunjukan kelas sosial mereka dalam masyarakat
Sebenarnya banyak janis senjata tradisional di wilaya Palembang seperti Tombak, Kris Palembang, dan beberapa jenis Pedang di sana. Di wilaya palembang juga di kenal senjata Tombak Trisula maupun senjata tradisonal lainnya bernama Skin.
Jika dicermati, senjata-senjata tersebut merupakan bentuk dari akulturasi budaya-budaya besar saat itu. Misalnya, kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India, dan kebudayaan Arab. Akulturasi tersebut merupakan bukti tingginya peradaban anak negeri yang mampu menyerap berbagai budaya dan menyatukannya dalam sebuah budaya berbeda dari aslinya.



Meriam pertama diketahui dibuat oleh Ctesibius dari Alexandria pada abad ke-3 SM. Hanya sedikit informasi yang diketahui mengenai temuan primitif ini, dikarenakan sebagian besar karya Ctesibius hilang.
Meriam Merupak senjata perang Populer pada masa kolonial terutama untuk mengekspansi dunia timur. Meriam yang terdapat di wilaya Palembang ini peninggalan dari Belanda.
Dalam catatan sejarah meriam digunakan peperang di wilaya Palembang terutama untuk merobohkan pertahanan Benteng Kuoto Besak, seperti pada tahun 1819 pasukan Belnda menghujani peluru di benteng namun tidak berdampak bagi kekokohan struktur bangunan Benteng, dan memaksa Belanda untuk mundur setelah Perdamaian di tolak Sultan Mahmud Badaruddin II.
Meriam yang ada juga merupakan peninggalan Belanda setelah menaklukan Palembang dan menjadi senjata pertahanan Belanda di wilaya Palembang.


0 komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Andri Pradinata - Copy Blogger Themes | Catatan Sejarawan Muda